Setelah
membaca tulisan Pak Neil Semuel Rupidara mengenai “Kepemimpinan Pak Willi di
UKSW: Hasrat Kuat bagi Keunggulan Akademik dan Ekspresi Kehadiran Kristen”,
dalam buku Willi Toisuta: 70 Tahun Sang Visioner, saya tertarik untuk mendiskusikan
pemahaman saya mengenai academic excellence dan christian presence, dua
konsep utama (visi?) yang sering dibicarakan dan dicita-citakan pak Willi di
UKSW. Saya hendak mencermati kedua konsep tersebut dalam perspektif manajemen
stratejik yang sedang terus saya pelajari sampai saat ini.
Apabila diandaikan
Indonesia adalah sebuah panggung, dan UKSW adalah seorang aktor yang akan tampil atau pentas di panggung tersebut, maka keunggulan akademik dan
kehadiran Kristen (begitulah kira-kira terjemahan Indonesia-nya) merupakan dua
konsep yang digumuli UKSW pada sisi panggung yang berbeda, namun saling berkaitan erat
satu sama lain. Apabila UKSW dimetaforisasi sebagai sebuah korporasi non-profit
yang memiliki puluhan program studi sebagai unit bisnis-unit bisnis di dalamnya,
maka dalam perspektif manajemen stratejik, academic excellence terpahami di
benak saya sebagai suatu nilai yang hendak dicipta UKSW, untuk menghadapi tuntutan "di atas panggung" yang sudah sedemikian kompleks dan dinamis. Oleh karena konsep ini merupakan suatu nilai yang hendak dicipta di UKSW, maka jika berbicara tentang konsep ini, perhatian kita akan tertuju pada business system dari setiap program studi yang ada di UKSW dengan tiga elemen di
dalamnya, yaitu basis sumber daya, basis aktifitas (aktifitas primer dan
aktifitas pendukung pada rantai nilai), dan tawaran nilai. Konsep academic
excellence ini berhubungan dengan proses, dan berusaha untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” UKSW (dalam hal ini setiap program
studi) mempersiapkan dirinya untuk tampil atau mementaskan diri di atas panggung, dimana terdapat banyak tantangan dan perubahan tuntutan yang berlangsung dengan cepat. Konsep ini digumuli UKSW di belakang panggung, sehingga bila berbicara mengenai academic excellence maka kita sedang berbicara mengenai backstage advantage.
Konsep yang kedua yaitu christian presence terpahami di
benak saya sebagai suatu mind-set, landasan filosofis, dasar sikap, dan juga misi dalam menghadapi berbagai tantangan zaman yang
berubah secara dinamis. Dalam Alkitab Perjanjian Baru, sering kita baca di kitab Matius bahwa umat kristiani hadir di dunia sebagai garam dan terang
bagi dunia. Demikianpun UKSW, sebagai salah satu lembaga pendidikan kristen,
hadir di Indonesia untuk menjadi garam dan terang bagi Indonesia. Pertanyaannya adalah apa yang dapat dimaknai dari menjadi garam dan terang bagi Indonesia tersebut? Tafsiran subjektif saya mengenal hal ini adalah UKSW sebagai unsur yang membawa perubahan dalam situasi di Indonesia yang sudah sedemikian kompleks, carut-marut, dan cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Konsep ini terwujud apabila UKSW secara signifikan benar-benar
menjadi unsur pembeda tersebut (bandingkan dengan konsep creative minority), mampu melihat kebutuhan masyarakat di Indonesia ditengah berbagai ancaman dan
tantangan yang ada, dan secara pro-aktif dan berkelanjutan membantu peningkatan
kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia melalui segitiga akademik (pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Dalam perspektif manajemen stratejik, konsep christian presence ini berhubungan dengan misi UKSW dan berupaya untuk menjawab pertanyaan "apa" yang hendak dihadirkan UKSW dalam pergumulan hidup berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia. Percakapan mengenai christian presence dalam perspektif manajemen stratejik, akan meliputi pembicaraan mengenai kondisi lingkungan makro, dunia pendidikan tinggi, kompetisi antar lembaga pendidikan tinggi, dan masyarakat Indonesia sebagai "pasar" dari UKSW. Pewujudan konsep ini digumuli UKSW di atas panggung pentasnya sendiri (onstage).
Ringkas kata, konsep christian presence berangkat dari pertanyaan "What to perform", sedangkan konsep academic excellence berangkat dari pertanyaan "How to perform". Dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan, kedua
konsep di atas diandaikan untuk saling berinteraksi satu sama lain. Segala sesuatu
yang ditentukan UKSW sebagai wujud nyata dari kehadiran kristen-nya, selalu perlu dijawab melalui suatu keunggulan akademik. Kondisi yang mencerminkan interaksi yang efektif antara kedua konsep inilah yang disebut sebagai strategic fit.
Sebagai
generasi 2000-an di UKSW, saya tidak pernah mengecap masa kepemimpinan pak
Willi Toisuta. Saya sadar bahwa dalam pemahaman saya di atas mungkin telah
terjadi simplifikasi, pemaksaan ide, atau penyempit-tafsiran dimana-mana. Oleh karena itu, tulisan singkat ini
amat terbuka untuk terkena kritik yang mungkin dapat didiskusikan lebih lanjut
bersama-sama.